TVRI Dialog Indonesia Bicara : Tantangan Industri Musik di Era Hybrid

Memperingati Hari Musik Nasional, TVRI mengangkat topik “Tantangan Industri Musik di Era Hybrid” di program Dialog Indonesia Bicara. Bersama pembawa acara Maya Karim, terjadi diskusi dan perbincangan menarik dengan Indra Lesmana (Komposer, Ketua AMPLI), Panji Prasetyo (Ketua Tim Pembela Hak Cipta & Pelaku Pertunjukan), dan Prof. Agus Sardjono (Guru Besar Hak Kekayaan Intelektual UI). 

Berikut adalah ulasan dan rangkuman secara garis besar dari tayangan yang berlangsung sekitar 50 menit hari Kamis, 10 Maret 2022 pukul 19.00 WIB di TVRI.

Pada awal perbincangan, Indra Lesmana bercerita seputar bagaimana teknologi bisa membantu mengatasi minimnya panggung offline di masa pandemi Covid-19 dengan beralih melakukan pertunjukan musik secara virtual. Saat awal terjadinya pandemi, Indra  cukup berhasil membuat tren ‘Instajam’. Ia merekam permainan pianonya melalui video, lalu diunggah ke Instagram, kemudian orang bebas merespon dan berimprovisasi dengan memainkan instrumen musik/ bernyanyi dan diunggah di feed mereka masing-masing. Sebuah pemanfaatan teknologi yang optimal dan menyenangkan di masa pandemi.

Menurut Indra, saat ini teknologi membuka banyak peluang dan kesempatan bagi musisi untuk memproduksi, mendistribukan, dan mempromosikan karyanya sendiri. Referensi musik pun sudah sangat mudah didapatkan di internet.  

“Musisi muda juga memiliki banyak opsi untuk merilis karyanya ke Digital Service Provider (DSP). Asiknya adalah tren musik menjadi sangat luas dan musisi semakin kreatif karena informasi sangat banyak.”, ujar Indra Lesmana.

Penuturan tersebut didukung oleh Prof. Agus. “Dulu kalau mau merekam musik dan lagu harus ke studio dan harus perlu alat rekaman yang besar. Saat ini bisa rekaman di rumah dan bisa pakai perangkat di rumah. Untuk memasarkannya saat ini sudah tidak sulit. Bisa menghubungi sub-publisher dan lagunya bisa dirilis kemana-mana. Untuk era sekarang modalnya tidak terlalu besar tapi sudah bisa membuat dan merilis musik. Era digital saat ini peluang untuk memproduksi musik lebih besar, banyak sekali indie label yang mempublikasikan karyanya sendiri lewat platform yang ia pilih sendiri.”, ujarnya.

Tentu saja di berbagai kemudahan ini ada tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh para musisi. Saat ini, seorang musisi membutuhkan strategi yang baik dalam memasarkan karyanya sehingga bisa mendapatkan perhatian publik dan tidak tenggelam di lautan rilisan karya lainnya. 

Baik Indra Lesmana dan Prof. Agus setuju bahwa musisi perlu membekali diri dengan pengetahuan selain bermain musik itu sendiri. Pengetahuan mengenai marketing, aturan main, royalti dan undang-undang, hingga bagaimana memanfaatkan teknologi digital untuk membawa musik ke ranah publik.

Tantangan lain datang dari sisi perlindungan terhadap karya. Tak jarang terjadi kasus bahwa ada lagu-lagu yang dimainkan ulang/ diunggah ke internet kemudian dikomersialkan tanpa izin pencipta lagu/ publisher. Menurut Prof. Agus, Undang-Undang Hak Cipta 2014 sudah memberikan proteksi terhadap kemungkinan penyalahgunaan hak cipta. Hanya saja pelaksanaannya yang masih kurang optimal. 

“Musisi sekarang harus mengerti hukum, pasar, dan teknologinya karena peluang yang bisa diraih oleh musisi itu juga dipengaruhi oleh sekelilingnya apakah itu dari teknologi, pasarnya, atau bahkan hukumnya.”, ujar Prof. Agus. 

Prof. Agus juga menjelaskan bahwa partik jual putus yang dilakukan di masa lalu tentu saja melanggar undang-undang. Kemudian merujuk upaya pembatalan terhadap beberapa pasal yang berkaitan dengan hak cipta, Prof. Agus memberikan opini bahwa adanya upaya pembatalan itu sebenarnya merupakan hak warga negara.

“Kalau upaya pembatalan tersebut melalui Mahkamah Konstitusi (MK) berarti pasal-pasal yang digugat itu harus dinyatakan sebagai pasal yang melanggar Undang-Undang Dasar (UUD). Kalau tidak berarti bukan kompetensi dari MK. Jadi yang harus dilakukan kalau ada pihak yang kepentingannya berseberangan adalah menyatakan bahwa apa yang digugat adalah suatu hal yang keliru karena tidak ada pelanggaran terhadap UUD. Sedangkan untuk penggugat harus bisa membuktikan.”, ujarnya.

(atas-bawah : Maya Karim. Prof. Agus Sardjono, Indra Lesmana, Panji Prasetyo)

Menyambung penjelasan Prof Agus, Panji Prasetyo menjelaskan bahwa pasal-pasal yang digugat adalah pasal 18, 30, dan 122. Pasal-pasal tersebut sifatnya bukan hanya mengatur tetapi juga melindungi hak musisi.

”Jaman dulu ada praktik namanya jual putus. Musisi hanya dibayar sekali. Karena waktu itu produksi dibuat sangat mahal karena musisi tidak punya pilihan selain berkerja sama dengan label. Tahun 2014 pemerintah membuat reversionary rights, kalau ada kontrak-kontrak yang melanggar hak pencipta lagu maka ini ada intervensi pemerintah untuk melindungi mereka supaya mendapatkan kembali hak ekonomi mereka yang hilang.”, ujar Panji. 

Panji menjelaskan bahwa dampak dampak jika gugatan terhadap pasal-pasal tersebut dikabulkan/ dihilangkan tandanya perlindungan terhadap musisi akan hilang dan musisi tidak memiliki ada posisi tawar. Hal tersebut diakui Indra Lesmana yang pernah mengalami praktik jual putus. Ia mendapati karyanya bertebaran di album-album kompilasi tanpa adanya laporan royati atau pemberitahuan. Ia juga memberi pendapat bahwa pasal-pasal tersebut tidak terlalu membebani produser melainkan sebuah permintaan untuk duduk bersama dan negosiasi ulang untuk mencapai kesepakatan baru antara musisi dengan produser.

“Ini hanya puncak gunung es. Yang perlu diperjuangkan adalah pengaturan ekosistem ini supaya terjadi kesetaraan, keterbukaan, dan kesederhanaan (kemudahan) proses. Yang kita lakukan adalah menyeluruh secara iklim ekosistem musiknya.”, ujar Panji di akhir sesi perbincangan. 

(END)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *