Melodi Sumbang Orkestrasi Royalti Musik

(Tanggapan tehadap tulisan Endah Widiastuti, Anas Syahrul Alimi dan Cholil Mahmud)

Oleh : Panji Prasetyo

Diskursus dan polemik tentang sengkarut masalah royalti musik belakangan ini seharusnya bisa menjadi sarana refleksi dan introspeksi bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk bagi musisi sendiri dan pemerintah, mengapa kesemrawutan yang telah terjadi lebih dari 30 tahun ini tidak pernah terselesaikan bahkan menjadi lebih kusut.

Refleksi penting yang harus dilakukan adalah menengok kembali tentang desain regulasi mengenai masalah royalti musik. Sejak UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta diundangkan, secara resmi diperkenalkan LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) dan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) sebagai badan-badan yang menangani urusan royalti. LMK berbentuk badan hukum nirlaba, bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti, serta mendapatkan kuasa minimal dari 200 orang pencipta lagu atau 50 orang pelaku pertunjukan (performers). LMK berhak memotong maksimal 30% (dalam 5 tahun pertama) dan selanjutnya 20%  dari royalti yang terhimpun sebagai biaya operasional.  

Lalu apa itu LMKN? LMKN adalah “lembaga bantu pemerintah non-APBN” sebuah species unik badan publik yang mengurusi penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti.  Ibarat sebuah lagu, keunikan bentuk LMKN ini, dan pola relasi hubungannya dengan LMK dan para pencipta lagu serta pelaku pertunjukan, bisa disebut sebagai intro dari centang perenang masalah royalti ini.

Sebagai badan publik yang para komisionernya diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Hukum & HAM, dan tidak mendapatkan pendanaan dari APBN, lalu dari mana biaya untuk menjalankan fungsi LMKN dan membayar gaji para komisioner? Tak lain dan tak bukan, royalti dari para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan yang dihimpun LMK-LMK itulah yang menjadi sumber pembiayaannya. Dengan dana dari pencipta lagu dan pelaku pertunjukan, apakah kemudian LMKN bertanggung jawab kepada para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan? Ibarat sebuah verse (bait pertama) dalam sebuah lagu, ini adalah nada yang menyayat dan lirik yang pedih, karena LMKN secara regulasi tidak bertanggung jawab kepada para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan yang menghidupi mereka.

Komposisi para komisioner yang duduk di LMKN pun tidak kalah uniknya. Walaupun pemerintah tidak membiayai operasionalisasi LMKN, tapi ditentukan harus ada “wakil” dari pemerintah di LMKN. Mengutip kata-kata rock star idola saya, Once Mekel, yang juga seorang pencipta lagu dan sarjana hukum: “Yang benar itu pemerintah kasih dana dan tidak ikut campur, ini malah pemerintah tidak mau kasih dana tapi mau ikut campur!”. Ibarat verse kedua dalam sebuah lagu, ini membuat melodi dalam urusan royalti menjadi makin sumbang.

Relasi antara LMKN dan LMK juga membingungkan. Tidak ada koordinasi yang jelas antar kedua badan tersebut dalam regulasi, baik secara operasional maupun dalam hal pengawasan. Maka tidak heran dalam realita, para musisi dan pencipta lagu lebih banyak mendengar cerita tentang tarik menarik dan konflik antara LMKN dan LMK daripada fakta tentang LMKN dan LMK yang bahu-membahu memperjuangkan perolehan royalti yang optimal bagi para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan.

Tiba-tiba akhir Maret tahun lalu pemerintah merilis Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu yang digaungkan untuk “memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta serta mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti”. PP 56 ini ternyata jauh panggang dari api. Bukan hanya tidak memperjelas fungsi koordinasi antara LMKN dan LMK, bahkan regulasi ini tidak memperkuat posisi pencipta lagu dan pelaku pertunjukan untuk meminta pertanggungjawaban kepada LMKN dan juga LMK, jika terjadi ketidaktransparanan dalam proses kerja LMKN dan LMK.  Yang ada, para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan yang merasa dirugikan diminta menyampaikan hal tersebut kepada Dirjen Kekayaan Intelektual. Lalu apa gunanya dana dari para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan yang merelakan royaltinya dipotong untuk biaya operasional LMK dan menghidupi LMKN, jika mereka kemudian tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada badan-badan tersebut?

Sebagai sebuah pre-chorus dalam sebuah lagu, PP 56 lebih menyerupai sebuah distorsi yang out of tune daripada sebuah nada yang indah. Apalagi ketika dalam beleid tersebut terdapat ketentuan yang menugaskan LMKN untuk melakukan pembangunan dan pengembangan Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM), dimana dalam hal tersebut LMKN dapat bekerja sama dengan “pihak ketiga”. Bukan tentang SILM yang memang sangat dibutuhkan sebagai database untuk mengoptimalkan penarikan dan pendistribusian royalti yang menjadi soal, tetapi tentang posisi dan kewenangan LMKN yang tidak jelas, yang bahkan sekarang diberi kewenangan untuk membangun SILM, yang pasti membutuhkan biaya. Bagaimana mungkin badan yang untuk hidupnya saja bergantung dari sumbangan dana royalti pencipta lagu dan tidak bertanggung jawab kepada para penyumbangnya, malah diberi kewenangan tambahan yang pastinya akan membebani lagi para pencipta lagu dan pelaku pertunjukan.

Tidak butuh waktu lama untuk membuktikan kekhawatiran tersebut. Hanya dalam waktu 8 hari sejak PP 56 terbit, mendadak sontak lahir Peraturan Menteri Hukum & HAM No. 20 tahun 2021 sebagai aturan pelaksana PP 56. Dalam Permenkumham 20 tersebut, disebutkan bahwa “pihak ketiga” tersebut ternyata bukan hanya untuk membangun SILM, tapi juga mengambil alih semua fungsi LMKN dengan titel sebagai “pelaksana harian”, serta memperoleh jatah 20% tambahan dana operasional dari royalti yang terkumpul, atau lagi-lagi mengambil hak dan menambah beban pencipta. 

Intro, verse, dan pre chorus yang sudah sumbang, akhirnya masuk ke dalam chorus yang destruktif dan menghancurkan seluruh harmoni lagu, ketika 41 hari kemudian setelah Permenhukham 20 terbit, LMKN ternyata sudah menandatangani perjanjian dengan sebuah perusahaan swasta yang tidak jelas rekam jejaknya, tanpa melalui tender terbuka dan uji kelayakan, dan bahkan salah satu komisioner LMKN ditengarai mempunyai penyertaan saham di perusahaan swasta tersebut. 

Jika rangkaian melodi sumbang dalam orkestrasi royalti ini sudah nyata menghancurkan seluruh harmoni, bisakah gubahan ini hanya sekedar diperbaiki? Rasanya tidak. Harus ada kemauan untuk melakukan introspeksi dan mengambil langkah nyata, terutama dari pemerintah, membuat gubahan baru berupa desain regulasi yang logis dan lembaga yang jelas kewenangan dan tanggung jawabnya, memihak dan melindungi pencipta lagu dan pelaku pertunjukan, serta memilih para pelaksana yang memiliki etika, integritas, memiliki semangat keterbukaan dan tidak defensif dalam melayani stakeholder terpenting dalam urusan royalti, yaitu pencipta lagu dan pelaku pertunjukan.

PANJI PRASETYO
Advokat, Konsultan Kekayaan Intelektual, dan Produser Musik 

*Artikel serupa pernah dimuat di Harian Kompas Minggu, 9 Januari 2022

Photo by Anne Nygård on Unsplash

One thought on “Melodi Sumbang Orkestrasi Royalti Musik”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *