(Tanggapan Terhadap Tulisan Endah Widiastuti dan Anas Syahrul Alimi)
Oleh : Cholil Mahmud
Pada awal April 2021, publik diramaikan dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 (PP 56) tentang pengelolaan hak cipta lagu dan/atau musik. Pemberitaannya ramai dan masif, serta berhasil memancing percakapan tentang royalti di masyarakat.
Sebagian dari masyarakat ternyata baru mengetahui tentang praktik pemungutan dan pembayaran royalti untuk setiap karya yang diumumkan, dikomunikasikan dan dipertunjukan secara komersial. Padahal, seperti yang Endah Widiastuti sampaikan dalam tulisan “Menikmati Royalti Sambil Ongkang-Ongkang Kaki” (28/11), praktik tersebut sudah dilakukan sejak tiga puluh tahun lalu oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI).
Akibatnya, “daging” dari PP 56 tersebut, yaitu pembentukan Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) dan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) kurang mendapat perhatian. Dalam PP 56 tersebut ditegaskan bahwa PDLM akan dibangun oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan SILM akan dibangun oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Mengingat data dan kemampuan mengolahnya merupakan “mata uang” di masa datang, maka kebutuhan akan PDLM dan SILM menjadi keniscayaan.
Belum reda pemberitaan tentang PP 56, delapan hari kemudian ternyata terbit pula Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 (Permenkumham), disusul satu setengah bulan kemudian, tepatnya 19 Mei 2021, ditandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara LMKN dan korporasi pembangun SILM. Namun, kedua peristiwa itu sepi pemberitaan.
Jika dibandingkan dengan PP 56 yang terbit tujuh tahun setelah Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 (UU Hak Cipta), terbitnya Permenkumham dan PKS yang hanya membutuhkan waktu dua bulan sejak PP 56 terbit, menimbulkan pemikiran bahwa pemerintah kali ini mungkin serius ingin memperbaiki tata kelola royalti. Namun mengapa pemberitaannya sangat minim? Padahal ketika PP 56 muncul, pemberitaannya riuh dan mampu menyedot perhatian masyarakat.
Karena sepinya pemberitaan, sebagian publik baru menyadari tentang adanya Permenkumham dan PKS beberapa bulan kemudian. Gawatnya, kedua hal tersebut ternyata menimbulkan kontroversi lanjutan. Dimulai dari penunjukan langsung korporasi yang belum punya rekam jejak dalam pembangunan sistem informasi dan pusat data sebagai penyedia jasa SILM yang prosesnya jauh dari semangat good governance. Bukankah seharusnya, ada proses tender, bukan penunjukan langsung seperti yang terjadi sekarang? Ternyata, karena LMKN adalah lembaga bantu pemerintah non-APBN, maka mereka tidak harus menjalankan ketentuan itu.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran.
Sebagai pencipta lagu yang datanya akan dikelola di dalam SILM, tentunya saya mengharapkan penyedia jasa SILM adalah yang terbaik, di mana metode tender akan lebih memungkinkan untuk mewujudkan itu dibandingkan dengan metode penunjukan langsung atau PKS.
Selain itu, LMKN yang biasanya mengambil keputusan secara kolektif kolegial, dalam Permenkumham ini dimungkinkan untuk menunjuk pelaksana harian/penyedia jasa SILM hanya dengan penetapan oleh ketua komisioner. Perubahan mekanisme pengambilan keputusan ini terasa janggal dan tidak ada urgensinya. Namun, ketika kita pertanyakan kepada LMKN, mereka kira-kira akan menjawab, “kami hanya menjalankan peraturan. Silakan tanya kepada pemerintah yang membuat peraturan tersebut.” Tanya mesti dialamatkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kemenkumham.
Kecurigaan akan sesuatu hal yang tak beres, mulai tumbuh.
Sebelum sempat bertanya, ternyata muncul fakta baru yang menyatakan bahwa salah satu komisioner LMKN dan beberapa pencipta lagu yang dekat dengan kekuasaan, ternyata memiliki saham pada korporasi penyedia jasa SILM tersebut sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Kecurigaan yang sudah tumbuh, ditambah dengan ditemukannya penyimpangan, membuat kepercayaan menjadi runtuh.
Tidak adanya klarifikasi dari pihak LMKN tentang konflik kepentingan tersebut semakin memperparah krisis kepercayaan itu. Bahkan dalam satu wawancara dengan satu majalah, sang ketua komisioner seperti melempar tanggung jawab dan meminta reporter untuk mewawancarai komisioner lain. Seperti ada yang ditutupi. Para pihak yang terdampak seperti musisi dan pencipta lagu dipaksa mengais informasi sendiri, dan menerka-nerka ada apa dengan pengelolaan royalti.
Akibat tidak diterapkannya prinsip good governance, dan di kemudian hari terbukti terjadi konflik kepentingan semestinya menjadi alarm untuk membatalkan PKS. Walaupun di kemudian hari, terdengar kabar bahwa komisioner yang terlibat konflik kepentingan telah mengundurkan diri, tak berarti penunjukan langsung bisa terus dilakukan karena secara prinsipil, konflik kepentingan telah terjadi pada saat PKS terjadi.
Puncak dari kontroversi itu adalah ditingkatkannya potongan dana operasional yang diambil dari royalti yang terkumpul, yang semula hanya 20%,yang digunakan oleh LMK menjadi ditambah 20% lagi yang digunakan oleh LMKN dan penyedia jasa SILM. Perubahan tersebut bertentangan dengan UU Hak Cipta, sehingga harus segera dibatalkan. Lagi-lagi tidak ada klarifikasi dari pemerintah sebagai pihak penyusun Permenkumham.
Jika kita rangkai ulang berbagai realita di atas, mulai dari munculnya Permekumham dan PKS dalam waktu yang pendek dan minim publikasi, tidak adanya proses tender, perubahan mekanisme penetapan rekanan, konflik kepentingan dan tambahan potongan dana operasional yang bertentangan dengan UU Hak Cipta, maka terlalu naif jika kita masih mengatakan segala ketidakhati-hatian dan pelanggaran itu hanya kebetulan, bukan sebuah orkestrasi.
Saya pernah mendengar keluhan seorang penulis fiksi tentang bagaimana menceritakan peristiwa kebetulan. Keluhannya adalah dalam menulis fiksi penulis seperti sudah dihakimi terlebih dahulu bahwa peristiwa kebetulan itu porsinya sebisa mungkin sedikit dan harus masuk akal. Padahal, masih menurut si penulis, peristiwa kebetulan-yang tak masuk akal sekalipun kerap terjadi di kehidupan nyata. Mengapa kemudian kisah fiksi jadi harus lebih logis dari pada kisah nyata yang juga penuh rekayasa?
Apakah kebetulan-kebetulan ini berani kita tulis pada kisah fiksi?
Agar tidak menjadi seperti apa yang dikatakan Anas Syahrul Alimi dalam tulisan “Hanya Mengeluh dan Aduh Yang Kita Bisa” (12/12), butuh waktu hampir delapan bulan bagi para musisi untuk mempelajari permasalahan ini dan membentuk Aliansi Musisi dan Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) seraya meyakinkan diri dan bersuara bahwa kebijakan tersebut merugikan mereka. Jelas. Sangat Jelas.
Iklim yang dibutuhkan bagi musisi dan pencipta lagu dalam membangun tata kelola royalti adalah kepercayaan, bukan menghamba pada kekuasaan. Jika korporasi yang dekat dengan kekuasaan terus mencari cara agar bisa melanggengkan kekuasaannya, maka dengan mudah ketika kekuasaan itu berpindah /tumbang, penguasa baru akan melakukan berbagai cara yang sama untuk mengambil alih. Di tengah kuasa yang bertarung berganti-ganti periode, kita yang terinjak-injak. Kekuasaan hanya sementara, sedangkan menjadi musisi dan pencipta lagu adalah sepanjang hayat.
Sebagai penutup, demi meningkatkan keamanan dan kebersihan, Jepang berinovasi menciptakan toilet umum transparan. Sementara di Indonesia justru sebaliknya, hal yang harusnya transparan dan terang, malah dibuat kabur, gelap, tanpa klarifikasi dan pertanggungjawaban.
Cholil Mahmud
Penulis lagu dan pemilik toko buku
*Artikel serupa pernah dimuat di Harian Kompas Minggu, 26 Desember 2021