Oleh Endah Widiastuti
Panggung, konser, dan pertunjukan musik adalah salah satu pendapatan terbesar bagi musisi indie. Namun pandemi yang memangkas jam manggung ini membuat kami berpikir ulang, bisakah kami juga menikmati royalti sambil ongkang-ongkang kaki?
Jadwal panggung yang padat dan tur yang tak putus-putus menjadi penghasilan utama bagi Endah N Rhesa, duo yang saya bentuk bersama suami saya. Selama bertahun-tahun kami menghidupi keluarga, membayar tagihan bulanan, memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui pendapatan dari hasil manggung. Ketika panggung marak berjalan, biasanya penjualan CD album dan merchandise (kaos, gantungan kunci, buku,dll) juga terjadi peningkatan sehingga keuntungan penjualan dapat digunakan sebagai instentif bagi tim lapangan. Ah, pokoknya sebelum pandemi, kehidupan sebagai musisi begitu dinamis dan menyenangkan.
Seiring berjalannya waktu, timbul sebuah pemikiran dari hasil refleksi diri akibat pandemi. Bagaimana tidak? Penghasilan utama kami seperti panggung Pensi (pentas seni) di sekolahan dan kampus-kampus tidak lagi berjalan. Di sinilah saya mulai menggali berbagai kemungkinan yang bisa saya dapatkan sebagai pencipta lagu dan musisi melalui karya-karya saya.
“Mungkin enggak kita bisa menikmati royalti sambil ongkang-ongkang kaki?”
Sejak awal berkarier di industri musik Indonesia tahun 2009, internet menjadi solusi untuk memperdengarkan musik Endah N Rhesa yang tidak terlalu gencar beredar di media arus utama. Itulah sebabnya Endah N Rhesa menggunakan agregator musik digital untuk mendistribusikan lagu-lagu kami ke Digital Service Provider (DSP) seperti Spotify, Apple Music, Youtube Music, Tiktok, Deezer, Tidal, dll. Ketika lagu-lagu Endah N Rhesa terputar di DSP maka akan ada pemasukan yang otomatis bisa kami lihat laporannya saat mengakses halaman agregator. Sebuah kepraktisan dan transparansi yang memuaskan karena saya bisa melihat sendiri laporan dari setiap DSP yang bekerja sama dengan agregator kami.
Namun setelah bertahun-tahun melakukannya, saya baru menyadari bahwa yang selama ini saya terima dari agregator tersebut barulah royalti sebagai pemilik master rekaman. Ternyata ada royalti yang belum saya terima yaitu royalti sebagai pencipta lagu dan hak terkait sebagai artis/ penyanyi Endah N Rhesa. Kedua jenis royalti itu hanya bisa diterima apabila saya sudah menjadi anggota LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) untuk pencipta lagu dan hak terkait (sebagai penyanyi dan pemain gitar duo Endah N Rhesa) karena DSP membayarkan royalti Performing Rights hak pencipta lagu dan hak terkait kepada LMK sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai informasi, performing rights (pengumuman ciptaan) berdasarkan UU Hak Cipta tahun 2014 adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non-elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. LMK adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.Lalu timbulah rasa keingintahuan saya mengenai status royalti yang belum pernah saya klaim selama bertahun-tahun lamanya.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 2021, royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait akan disimpan dan diumumkan oleh LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang posisinya menaungi LMK-LMK) selama 2 tahun sampai diketahui pemiliknya. Kalau ternyata pemiliknya tidak diketahui atau tidak ada yang mengajukan klaim terhadap royalti tersebut, maka royalti dapat digunakan sebagai dana cadangan.
Kemudian saya segera membaca Permenkumham Nomor 20 tahun 2021 untuk mencari tahu mengenai definisi dana cadangan. Dana cadangan adalah royalti yang dimana lagu dan/atau musik tidak dicatatkan penggunaannya (masih terdapat sengketa kepemilikan, atau pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait belum terdaftar sebagai anggota LMK). Dana cadangan sebesar 7% dari keseluruhan royalti yang didistribusikan tersebut dapat digunakan oleh LMKN untuk pendidikan musik; kegiatan sosial atau amal; dan insentif bagi mereka yang telah menjadi anggota LMK.
Informasi ini membuat saya tersadar bahwa selama ini tentu ada royalti-royalti yang tidak terklaim telah digunakan untuk keperluan sosial dan pendidikan musik. Tentu saja saya senang sekali mengetahui bahwa royalti-royalti yang selama ini tidak saya klaim ternyata membawa manfaat bagi orang lain. Tapi kemana saya bisa melihat hasilnya? Apakah ada laporan kongkrit mengenai hal ini? Berjam-jam saya mencari di internet mengenai penggunaan dana cadangan untuk sosial dan pendidikan musik namun saya tidak berhasil menjumpainya.
Kemudian menanggapi bahwa ada bagian royalti yang dibagikan sebagai instentif bagi mereka yang sudah jadi anggota, maka saya hanya bisa menerima nasib karena kenapa dari dulu tidak segera menjadi anggota LMK. Tetapi dari sisi hati yang paling dalam, saya juga ada rasa takut untuk menerima sesuatu yang bukan menjadi hak saya.
Mencermati kenyataan ini, sepertinya cukup banyak royalti pencipta lagu dan hak terkait dengan status ‘tidak bertuan’ yang diterima LMK karena tidak semua musisi indie menyadari keharusan untuk mendaftarkan dirinya ke LMK. Ini merupakan informasi yang cukup penting bagi setiap pencipta lagu dan musisi untuk mendaftarkan diri ke LMK. Hanya saja, apakah saya juga akan mendapatkan kemudahan informasi, transparansi, dan kecocokan data mengenai penggunaan lagu saya melalui LMK seperti layaknya saya mengetahui informasi rinci tentang status lagu saya di DSP melalui halaman agregator digital di internet?
Keraguan seperti ini terkadang membuat saya seperti menerima kutukan. Kutukan bahwa kenapa sulit sekali bagi saya untuk percaya dengan sistem yang sedang berjalan? Dan sepertinya, krisis kepercayaan inilah yang menjadi kendala dan tantangan bagi sistem tata kelola royalti di Indonesia. Masih teringat ketika berhembus kabar beberapa tahun lalu bahwa pengguna musik (diantaranya seperti hotel, restoran, kafe) yang memutar atau menampilkan lagu-lagu sebagai hiburan/ musik latar menolak untuk membayar performing rights ke LMK karena meragukan data dan transparansi laporannya. Kejadian tersebut mendorong lahirnya LMKN untuk menjembatani masalah ini.
Saat menilik kembali isi Peraturan Pemerintah 56 tahun 2021 dan Permenkumham 20 tahun 2021 berulang kali secara mendalam, tiba-tiba perhatian saya tertuju pada peraturan yang memperbolehkan pihak ketiga (perusahaan swasta) untuk ikut mengambil alih penarikan, perhimpunan dan distribusi royalti dalam dalih membentuk Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM). Tanggal 19 Mei 2021 saat penunjukan dan penandatanganan perjanjian antara LMKN dengan perusahaan swasta terjadi, salah satu komisioner LMKN ternyata juga memiliki saham pada perusahaan swasta tersebut sehingga terjadi konflik kepentingan. Ah! Lagi-lagi masalah kepercayaan, memang perlu waktu untuk ditumbuhkan.
Mungkin belum saatnya saya menerima royalti sambil ongkang-ongkang kaki karena royalti yang saya dapatkan sejauh ini baru dari hak sebagai pemilik master rekaman. Pengumpulan royalti di Indonesia, yang sudah dirintis sejak 30 tahun lalu oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia, masih menghadapi berbagai tantangan yang esensial, antara lain yaitu transparansi dan akuntabilitas. Namun saya tetap optimis dan merawat cita-cita bahwa suatu hari nanti para penulis lagu dan musisi di masa depan akan bisa mendapatkan royaltinya dengan sistem yang lebih baik dan transparan daripada yang saya alami sekarang. Toh kita semua memiliki keinginan yang sama bahwa pencipta lagu dan musisi bisa hidup sejahtera, semangat berkarya, serta berkontribusi kepada masyarakat/ pendengar musik Indonesia dan negara. Semoga!
Pamulang, 20 November 2021
Endah Widiastuti
Gitaris, penyanyi, dan penulis lagu
*Artikel serupa pernah dimuat di Harian Kompas Minggu, 28 November 2021
Photo by Haley Powers on Unsplash